Senin, 23 Juni 2014

cerpen: Penantian Tak Berujung

Penantian Tak Berujung
Oleh : Edy SS.
Begitu hening saat malam datang, yang terdengar hanya suara jangkrik di tengah ladang dan teriakan segerumunan kodok yang berusaha meminta tetesan air dari langit yang mendung. Di tengah ladang ada sebuah rumah singgah, dindingnya dianyam dari anyaman bamboo dan berlantaikan dari pilah-pilah bambu pula. Itulah rumah sederhana yang menjadi payung dalam kesendirianku beberapa bulan terakhir ini.
Kesunyian selalu mendatangiku saat matahari dengan cepatnya berada beberapa derajat dari arah kiblat, ya, hanya pada malam hari aku merasakannya. Saat matahari dengan sengatnya memberikan cahaya bagi dunia. Saat itu, serau mungilku tak dapat menaungi adik-adikku yang datang menghilangkan kesunyianku saat gelap.
Teriakan,  canda tawa serta tangisan yang menjadi sebuah kebisikan yang tak terelakkan, kadang percekcokan di antara penghuni surau di siang harinya memberikan kehangatan dan kebahagian tersendiri bagiku. Kebersamaan itu, membuatku ingin sekali mengambil tali dan mengikat sang surya di salah satu pohon pisang di samping surauku. Terkadang aku berkata, “ kenapa sang surya ini begitu cepat dan sekejap saja memberikan kesempatan untuk adik-adikku untuk menemani kesendirianku, apakah sang surya dengki, atau iri karena aku selalu ditemani oleh srikandi-srikandi cantik serta arjuna-arjuna gagah perkasa ini.”
Siang hari aku menyombongkan diri dan membanggakan diriku pada sang surya, namun ketika malam menjemput aku merasakan seperti apa yang dirasakan oleh matahari dengan kesendiriannya dan jika malam datang, bulan seakan-akan menyombongkan dirinya padaku dan seakan-akan berkata “kenapa kau menatapku dengan tatapan sinis seperti itu? Apakah kamu iri padaku?, karena aku memiliki milyaran sahabat yang akan selalu ada mengelilingiku,,, dimana Adik-adik mu?, dimana kesombonganmu? serta keangkuhanmu pada sang matahari?!”.
Perkataan itu, selalu terulang dan terus berulang tiap kali aku menghadapkan wajahku kebulan, mungkin, ini adalah hukum karma atas perbuatanku pada sang matahari. Aku terdiam tak bersua, yang kulakukan hanya menatap beribu-ribu bintang tak alami, yang dapat kulihat dari atas surau setinggi empat meter ini. Disinilah aku menunggu sang matahari yang merupakan penyinar dan pengahangat dunia dan kehidupan. Ditempat ini pula ku tunggu dengan penuh harapan akan kedatangan adik-adikku, penyinar sekaligus penghangat dunia dalam hatiku.

Hatiku, “Mati suri”


oleh: Edy SS.
Dunia dengan lampu kristalnya menyinari ruang sudut kamar tidur, bagian jasadku terasa ada kehangatan cahaya itu, beberapa hari aku tak pernah merasakan kesejukan udara pagi seperti saat ini. Bola mata terkejut menatap garis-garis cahaya yang masuk sedikit demi sedikit disela-sela jendela saat perempuan setengah baya membuka kain warna biru dengan pernak-pernik kuning telur menyala diatasnya.
“Apa kamu tidak capek nak tidur terus, tidak biasanya kamu seperti ini nak?” tegur perempuan tua yang memiliki 2 orang anak, dan aku adalah anak sulung dari ibu tua ini.
“ Sudah 5 hari ini kamu tak pernah keluar kamar, apa gerangan yang kamu pikirkan” sambil menggelengkan kepala,
Tak Mendengar aku menyahut atau bergerak bangun dari atas kasur, mama pun keluar dengan wajah muram ditambah garis-garis keriput diwajahnya terlihat dengan jelas ada kekhawatiran dan kesedihan dalam hatinya.
Seakan aku tak memiliki daya untuk mencungkil diriku sendiri terbangun dari kemanjaanku dari dipan persemidian ini, saat ingin terbangun, bayangan ketakutan, rasa malu yang berlebihan serta beban hidup yang mereka timpahkan semua padaku buat aku merasa lebih ringan jalani hidupku diatas tempat ini dan didampingi dengan bantal serta boneka marsupilami yang dibelikan oleh dae dua tahun silam sebelum ia pergi kembali menghadap sang Khalik.
Perlahan kuambil HP dari bawah bantal tidur yang hanya bisa ku jadikan sandaran kepala, sudah lima hari ini pula aku tak pernah mendengar ada suara bayi tertawa yang keluar darinya, ku tekan tombol merah, keluarlah cahaya dari benda mati buatan cina ini. Tak lama terdengar belasan kali suara pesan muncul dalam layar merah “5 Pesan Masuk”
“tris,, aku putus lagi dengan yanto,, alx dy dah tw lo aku pcaran jg sma fauzan,, gimana nich?? Bantuin aku bjukin yanto yah!! Please..”
 “npa g’ dtng klyah hr ne,,, Q mw crhat ne,, dtang ych,,dtang yach!/!!”
“Mfn Q yh dah prmainin perasaan Qm,,,,, 2 minggu lg Q nikah! Se X lg mfn Q”
“kk hr senin depan santi ujian,,, kirimin uang yah bwt bayar SPP!!!!!”
“sob,, kekmps krng cepat,, alx hr ini terakhir batas pmbyaran kuliah ne!?”
Saat aku jadi tulang punggung keluarga, biayain sekolah adik, kuliah dan hutang pada sang rentenir yang semakin menumpuk yang sekian bertambahnya hari selalu menghisap darah serta tulangku dan saat laki-laki yang sangat kupercayai telah mempermainkan diriku, janji dan ucapan manis yang membuat hatiku luluh tak berdaya ternyata merupakan jurus srigala ganas pada mangsanya.  Aku hanya sendiri, tak ada tempat aku untuk bersandar karena memang akulah sandaran dari teman-temanku.
“Teman!! Ya..teman!! hmmm….apa mereka temanku?????”
Teman yang hanya anggap aku sebagai gudang pembuangan dari masalah-masalah mereka, saat sedih aku sandaran mereka, tempat curhat, tempat cari nasehat dan sebagai motivator mereka. Namun, saat aku jadi mayat hidup seperti ini tak pernah terlihat mereka muncul disampingku.

Lebih baik aku tak pernah terbangun dari atas kasur ini. Tak ada curhat, tak ada omelan, tak sakit hati dan tak ada beban hidup “Marsupilami kecilku,,,, hanya kau yang selalu setia ada disampingku”

Sabtu, 21 Juni 2014

Mencari Tuhan

Oleh Edy ss


Beratus kali jari-jari tangan bergerak lincah membuka lembar demi lembar tumpukan kertas diatas meja merah kecoklatan dan disinari dengan terangnya lampu Philips 15 Watt. Puluhan buku berserakan, kamar tidur tak ubahnya dengan Tempat Pembuangan Sampah.
“wechh…. Rajin banget lho bacanya Ed” tanya adin sahabatnya
“aku tak membaca, ada sesuatu yang inginku cari!?”
“tugas kuliah??” adin kembali bertanya
 “TUHAN”
Seakan tak percaya, sahabatnya itu hanya tertawa dan berbaring diatas karpet biru yang dipenuhi dengan buku-buku kosong yang tak memiliki sepatah katapun didalamnya,, ya seperti itulah dikatakan edy.
Sudah seharian, namun yang dicari tak juga didapatkan, buku yang berjejer diatas rak, kini berpindah tempat kedalam sebuah karung padi,
“percuma aku beli buku sebanyak ini, namun tak berguna sama sekali”
“mau kau bawa kemana buku-buku itu” tanya adin setelah bangun dari pembaringannya
“buang”
“jangan dibuang langsung dibakar aja” nyahut adin sambil berjalan keluar meninggalkan sahabatnya itu dengan buku-bukunya.
Dalam kesendiriannya dan tak ingin menyerah untuk mencari “dimana aku harus mencari-Mu, kenapa KAU saja yang tak tampakkan dirimu dihadapanku” ketidak puasan serta pencarian yang tak berujung, hati menjadi lemah, karena ratusan pasukan kerajaan akal siap untuk menyerang. Hanya beberapa menit saja hati tak akan mampu lagi untuk bertahan.
“Kenalilah dirimu, maka kau akan mengenal tuhanmu>:”>:’.;’’.;;’.,Allah SWT yang memilki kuasa mengatur Alam maka pelajarilah.;’’ ”:>>.,;’./,  tafakkur (pahami, teliti)lah makhluk ciptaanku, jangan pernah kau mentafakkuri-AKU”
Seakan tubuh kekar ini menjadi puing-puing berserakan , telinga tak mampu menahan kata-kata, mata seakan terbakar oleh secuil cahaya. Tidur kilat itu, memberikan jawaban dalam pencarian yang melelahkan ini. Dengan jelas masih teringat rentetan kalimat itu. Bersujud sebagai tanda keberhasilannya mencari TUHAN… ternyata tuhan tidak ada dalam buku.
apakah itu suara TUHAN”
“TUHAN ada dalam mimpi”

“hmmmm,,, berarti pencarianku belum selesai”

HARUSKAH AKU MEMILIH

Oleh Edy SS.

Tangan tak berwarna, menahan dagu dalam beban pikir yang mendalam. beralaskan benda keras tak ku rasa ada kesakitan. Aku memilki dua tangan namun  keduanya tak pernah saling menyiksa, aku memiliki dua kaki tapi mereka saling berbagi mana yang harus melangkah terlebih dahulu, tapi hatiku hanya satu namun telah terbagi karena harus memilih.
Cinta berikan aku semangat untuk terus beraktivitas, hari-hari selalu berwarna saat untaian kalimat takjub terlontar dari dirinya buat jiwa ini meleleh dan terhanyut. Saat kedua bola matanya menghadap padaku  memancarkan cahaya yang mampu menembus kedalam tubuh ini, hidupku terasa terbang diawan-awan syurga, semua mata penghuninya tertuju padaku buat sang bidadari mengalah karena tak mampu bersaing dengan diriku.
Ku berikan semua apa yang harus aku berikan padanya, hanya mengharapkan beberapa kalimat cinta darinya. Kulakukan apa yang bisa aku lakukan, hanya untuk mengaharapkan lirikan tetesan cahaya yang berikan kehangatan dalam sanubari ini. Hanya 14 bulan ku buat bidadari iri serta mengalah padaku, hanya 14 bulan aku merasakan kehangatan yang begitu indah, semuanya telah hilang, terkubur oleh keegoisan, termakan oleh kedengkian, terhanyut oleh ketidak mampuan, terkikis oleh kesombongan dan keangkuhanmu.
kau buat aku dilema dalam kegelapan malam ini, kau buat bantal gulingku basah, basah karna tetesan air mata ku, apakah perlu aku harus memilih antara cinta dengan cita-cita? Perlukah ku memilih salah satunya dan kenapa kau tak terima bila aku harus memilih keduanya “kau dan cita-citaku”
Kucucurkan keringat dan tenaga untuk mengejar cita-citaku namun aku tak pernah jauh darim'u
”aku butuh waktu” jawabku saat dia berikan pilihan padaku tiga hari yang lalu
“aku tunggu jawabanmu malam minggu” jawabnya sambil berjalan menuju pintu gerbang kampus meninggalkan ku.
Beberapa menit lagi adalah batas waktu terakhir yang diberikan, “ cinta… cita-cita….. cinta… cita-cita….. cinta… cita-cita” dua kata selalu kuulangi.
Teringat saat dia berikan senyuman terindah yang pernah ku lihat selama ini, buat aku kembali luluh dalam ingatanku sendiri
“aku harus pilih dia”
Didepan rumah terdengar suara motor yang tak asing lagi ditelingaku, kupakai parfum dan beberapa perlengkapan kosmetik, kusiapkan senyuman terindah buat sambut kedatangannya,
ASSALAMU’ALAIKUM”
Wa’alaikumSalam” jawab ibu ku yang sedang duduk diruang keluarga sambil menonton TV bersama ayahku.
Masuk aja nak Raka”
“terima kasih bu,, saya duduk diluar aja”
Saat wanita tengah baya ini memanggilku, bergegas aku pun membuka pintu yang membatasi kamarku dengan kamar keluarga, terlihat ayahku berbaring tak beralaskan tikar dan tak memakai baju, terlihat kulit-kulinya yang kusut, urat-urat yang membiru dan terlihat jelas ruas-ruas tulang yang seakan tak ada daging yang menutupinya, serentak aku teringat akan nasehat K.Beb panggilan akrabku pada seorang pria hitam manis, teman sekaligus kakak seniorku dikampus
“sucikan niatmu untuk kuliah, bahagiakan orang tuamu dengan belajar, banggakan orang tua mu dengan prestasi dan berikan masa depan untuk orang tua mu dengan meraih cita-citamu”
Aku tak punya daya untuk melangkah, terbayang cucuran keringat keluar dari kulit keriput ayah, teringat saat keduan orang tua ku hanya mengunyah nasi putih dibumbui dengan garam agar berasa, teringat semua kerja keras, pengorbanan, cinta yangb begitu mereka berikan padaku, teringat nasehat mereka
”tugas ayah membiayai kehidupanmu, tugasmu meraih cita-cita Ayah”
”cita-citamu adalah cita-cita ayah”
Aku terdiam membisu, mengingat dan aku terus mengingat semua yang pernah ku alami, terasa ada kecerahan dalam hati dan akal sehatku, aku memang harus memilih. Aku keluar dengan penuh keyakinan atas apa yang ku pilih, aku mengahampirinya diteras rumah
Kukatakan “AKU TIDAK MEMILIH KAMU”

Ku lari masuk kedalam rumah, kudatangi kedua orang tuaku, ku peluk dan ku cium mereka, terbasah oleh derasnya air mata kedua nya terheran-heran dan tersenyum. AKU SAYANG IBU DAN AYAH.

cerpen Senyumanmu, Kado Terindah Dan Terakhir Untuk Ku

Senyumanmu, Kado Terindah Dan Terakhir Untuk Ku
Oleh Edy ss.
Milyaran tetesan air jatuh dari atas langit yang mendung, pemilik tak lagi mengeluarkan rupiah untuk menyiram bunga-bunga yang sudah mulai layu dipandang mata, berjuta nyawa makhluk hidup diluar sana akan tertolong, sebab, sumber kehidupan telah dilepaskan oleh sang Maha Pengatur kehidupan. Semakin bercucuran air hujan, suara gemuruh seakan tak mau mengalah darinya, kilatan petir pun seakan meminta sesembahan.
Terdengar samar-samar ketokan pintu dari depan rumahku “Siapa” teriakku dari dalam kamar, namun tak ada jawaban. Semakin mendekat suara ketukan itu semakin jelas. Ku buka horden jendela, ku lihat sepasang mata bulat sempurna dengan bulu mata lentiknya menambah keindahan untuk dipandang oleh setiap yang melihat
“bulan purnama” kata ku tak berbunyi.
Seakan aku tersihir oleh keindahan dan kecantikannya, buat aku termenung sejenak, pikiranku melayang, tangan bergerak-gerak menggores kaca jendela, tak sadar bahwa perempuan yang kukejar selama beberapa bulan ini sedang kedinginan diluar sana.
Tubuhku gemetar,gemetar dan terus saja gemetar, aku gemetar bukan karena dingin, tapi aku takut akan apa yang akan dia bawa. kubuka pintu dengan mengerahkan seluruh daya yang ada dalam diriku,
“Masuklah Asti, kau kedinginan, biar aku ambilkan handuk”
“gak usah,terima kasih,aku,,, aku hanya pengen kasih kertas ini” sebelum dia membalikkan tubuhnya, sekilat dia berikan senyuman terindah yang pernah dia berikan padaku, seakan berikan tanda dan jawaban atas pertanyaan hatiku, beberapa hari yang lalu.
“apakah mungkin dia sudah menerimaku”
Aku hanya terdiam, membayangkan kemungkinan-kemungkinan atas senyumannya yang begitu istimewa bagiku. Aku tak ingat, ternyata disela jari-jari tanganku ada kertas, kertas yang merupakan jawaban atas pertanyaan hatiku.
 “pelan,,,,,,,,,pelan…” ucapku sambil membuka kertas yang sudah agak basah itu
“AKU TERIMA KAMU SEBAGAI PACARKU”
Seakan tak percaya, dan masih tak percaya,,
“ini kenyataan atau hanya mimpi” sambil kucubit dan kupukul kedua belah pipiku
“akhirnya aku mendapatkannya”ucapku sambil tertawa bahagia,
Sekitar Sepuluh menit berlalu, aku masih tersenyum sendiri sambil berkhayal.  akhirnya hujanpun reda, saat aku bangun dari kursi menuju dapur rumah, terdengar ada keributan diujung jalan, selang beberapa rumah dari tempatku,,, semakin aku mendekat, segerumunan orang sedang mengangkat tubuh hitam berasap, aku semnakin penasaran siapa yang diangkat ini,
“terkena petir” beberapa orang teriak seperti itu
seluruh tubuhnya hitam mempersulit aku dan warga lainnya untuk mengenalnya, namun seakan aku mengenal warna dan gambar dari baju yang dikenakan perempuan yang tak bernyawa ini
“siapa… siapa…” ku coba untuk mengingatnya,
“ASTI RIANI” ucap salah seorang warga setelah membaca KTP yang ada didalam tas.
“ASTI”
“tidak mungkin”
“tidak mungkin”
“ini tidak mungkin”
Seketika aku jatuh tak berdaya, hanya lutut sandaran tubuh lemahku ini,  seakan aku tak percaya, aku hanya terdiam, terdiam dalam ketidak percayaan, beberapa menit yang lalu dia berikan aku kebahagiaan, beberapa menit yang lalu dia berikan aku sebuah masa depan yang indah, baru beberapa menit yang lalu aku resmi jadi kekasihnya.
Aku terjatuh, hanya beberapa menit TUHAN beri waktu aku untuk melihat bola matanya yang indah, hanya beberapa menit tuhan berikan aku melihatnya tersenyum dan hanya beberapa menit TUHAN jadikan dia kekasih ku..

Aku salah, aku salah, aku salah mengartikan senyumannya, senyuman itu bukan sebagai jawaban perasaanku padanya, tapi senyuman itu adalah tanda, tanda perpisahan dan tanda bahwa kau akan pergi jauh tinggalkan aku. Terima kasih atas senyumanmu.

TERMINAL “TAQDIR”

cerita yang kami sajikan ini, merupakan kisah nyata. untuk menjaga privasi, maka kami tidak memasukan nama asli dari pemilik kisah tersebut. semoga kisah ini, mampu memberikan inspirasi bagi anda semua.


Oleh: Edy SS

Pilihan adalah sebuah jalan hidup, pilihan membutuhkan pengorbanan walaupun itu sulit untuk dilakukan, itulah pilihan. pilihanku hari ini akan menentukan masa depanku kedepannya, ayah-ibu maafkan aku, aku kecewakan kalian, ku buat engkau malu atas pilihan ini, aku korbankan kalian atas pilihan ini.
Langit malam seakan mati, gelap tak memiliki cahaya, setetes demi setetes air hujan jatuh diatas sana, angin malam membuatku kedinginan masuk melewati jendela penantian. Tanpa henti aku terus menengok keujung jalan berharap kau kunjung datang menjemput.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar”
Suara adzan terdengar dari kamar, apakah aku tuli? “Tidak” hatiku bergetar ingin memenuhi panggilan Ilahi, aku takut akan ajab-Nya, Namun, Kenapa suara panggilan itu tak aku hiraukan. Ku tengok lagi keujung jalan sana. “mungkin sebentar lagi” kuberikan keyakinan dalam hati.
“Aku Shalat Dulu”
Aku berjalan untuk berTaharah, ku kenakan pakaian serba putih penutup Aurat saat menghadap sang Pencipta, saat aku hendak mengambil sajadah didalam lemari, terdengar ada suara pesan dari dalam saku celana yang ku kenakan tadi, seakan ada gempa yang merobohkan bangunan yang kudiami ini, kuberlari mendekati sumber suara yang membuat aku lupa akan kewajibanku sebagai Hamba dari sang Khalik
“kutunggu kau sekarang diterminal”
Secepat kilat, kulepaskan kain Putih yang menutupi jasad lemah ini,  sekali meloncat aku mampu melewati jendela kamar setinggi 1,5 Meter ini dengan beban berat yang tergenggan dikedua tangan ini aku berlari menjauh dari rumah, jauh dari bunga-bunga yang selalu aku manjakan dengan uraian tangan, menjauh dari pelukan dan kasih sayang dari mama dan papa. Mama –papa maafkan aku.
Keringat bercucuran membasahi baju merah kecoklatan , jantung berdetak tak menentu, terminal dipenuhin oleh lampu-lampu Bis Malam, ratusan manusia terlihat sibuk tak menentu arah dan tujuan. Ku berjalan, mencari seseorang pria tinggi dan Putih serta Gagah dan tampan dan juga berpangkat Bripda ini.
“Dimana dia”
Ku berlari dan terus mencari, tubuh ini rasanya tak sanggup lagi untuk mencari, napas seakan putus  ditenggorokan, aku duduk terdiam sejenak, ku tengok jam yang ada ditangan“21.15 Wita” . keputus asaan mulai membayangi pikiran,
“apakah dia tak datang, apakah dia bohong padaku?, apakah dia ijinkan aku menikah dengan pilihan orang tua ku.. tidak…tidak mungkin, dia pasti datang”\
Sejenak terdiam, tiba-tiba mataku tersilau oleh cahaya lampu mobil yang datang menghampiriku, cahaya itu tak mampu dilawan oleh mata kecil ini membuat aku TAK Kuasa melihat siapa dibalik lampu itu, yang terdengar hanya suara pintu mobil yang tertutup, entah siapa yang keluar, aku tak tahu.
“ayo pulang”
“Papa” aku terkaget.
Digenggamnya tanganku, tubuh lemahku tak mampu menahan tarikan kemarahan dari nya, aku dipaksa masuk kedalam mobil Xenia hitam miliknya, tak ada yang dapat aku perbuat selain menangis. didalam kamar terkunci dan jendelapun telah ditutup mati, bukan bagaikan penjara, tapi memang inilah penjara, tak ada yang dapat aku lakukan hanya diam, Terdiam dalam beban  pikiran, terdiam akan ketidakpercayaan atas ketidakhadirannya.
“Pembohong, kau pembohong” teriakku kencang.
Terdengar suara langkah kaki menuju arahku, aku tak perduli siapa yang datang mama, papa malaikat pencaput nyawa pun aku tak perduli.
“Lupakan dia, kau akan menikah besok dengan laki-laki pilihan papa ”
aku tak berdaya, aku tak perduli akan hidup atau mati, aku dibunuh atau dinikahkan aku tak perduli akan semua itu, sekarang aku sudah mati, aku telah dibunuh oleh keyakinanku pada laki-laki pembohong itu, aku terlena akan ucapan-ucapan manisnya, aku terhipnotis oleh janji-janji manisnya dan aku adalah boneka, mungkin itu yang aku rasakan atas sikap kedua orang tuaku.
ketika dunia begitu cerah, cerah oleh cahaya sang matahari, kecerahan pun terdengar oleh suara canda tawa kebahagiaan diluar sana. Beberapa orang sibuk mencari dan memilih pakaian untukku, beberapa orang lainnyan sibuk menghias wajah kusut dan muramku.
Aku berjalan menuju singgasana pernikahan sekaligus singgasana masa depan mama dan papa, karena ini adalah keinginan mereka, aku hanya menunduk dan terdiam hatiku tak ada disini, akupun tak tahu hatiku ada dimana.
“apakah ananda siap untuk dinikahkan”aku tak menyahut
apakah ananda siap untuk dinikahkan” aku tak menyahut dan tak perduli
 “apakah ananda siap untuk dinikahkan” ulang Penghulu padaku
“terimalah dia jadi suamimu”

terdengar suara yang tak asing lagi bagiku, suara itu terdengar begitu jelas dibelakangku, aku mendengar, aku tak percaya, suara laki-laki yang telah menjadi kekasihku 4 tahun silam, laki-laki yang telah berjanji akan membawaku jauh, jauh diluar sana, laki-laki yang berjanji menungguku diterminal. Ku tak percaya ini dia, ku kuatkan hati untuk membalikkan wajah, kulihat wajah kesedihan terpampang diwajahnya, tetesan air keluar dari matanya, bersinar cahaya kepolosan dan kesucian terlihat begitu jelas dari raut wajahnya, hanya sepintas kumelihatnya aku pun jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Sendiri hidup dalam kegelapan.

Jumat, 20 Juni 2014

Sahabat, Semoga Kau Bahagia Bersama Kekasihku

Bercucuran air mata dalam kekecewaan yang mendalam, teringat masa indah yang penuh kenangan, bintang berakrab dengan purnama, alam bercinta dengan sang surya, sahabat dan cinta harus menyatu dalam meluluh lantahkan jiwa. harmonisnya kenangan, kini tinggal bayangan yang menyakitkan.

Dalam waktu yang panjang, kau tahu dia itu kekasihku, dalam kedekatan kita yang mendalam kau pun tahu hanya dia dan hanya dia cinta dan kekasihku. Persahabatan terindah yang telah terjalin lama, suka cita yang begitu mempesona antara kita dalam waktu sekejap kau hancurkan semua itu

“Pengkhianat”
”Kalian berdua Pengkhianat” teriakku
Ku mencoba tegar, namun setetes demi setetes air mata kekecewaan ini tak kunjung berhenti.
“apakah aku pantas dikhianati” tanyaku sendiri
Aku belum bisa menerima kenyataan ini, tak mudah menerima bila memang kenyataannya sepertin ini, sahabat dan kekasihku sengaja bersekongkol menghancurkan aku.
“Pengkhiatat ,,,,,,,,,,,,,,, Pengkhianat,,,,”
“pengkhianat,, kalian pengkhianat”
“Pengkhianattttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt……..”
Aku teriak sekeras mungkin, tak perduli kata orang, tak perduli penilaian orang, yang aku rasakan saat ini adalah lebih penting dari semuanya. Dalam kesendirianku dalam kegelapan malam disudut kamar tidur, aku pun layu tertunduk dalam musibah pengkhianatan ini.
“Mega”
“Mega”
Dalam keadaan sunyi sepi,Terdengar jelas ada suara panggilan dibelakang pintu kamarku, aku tak menyahut, aku hanya terdiam.
“Mega apakah kamu sakit” sapa Ratih, teman sekampusku.
“Pengkhianat” jawabku pelan tak berdaya.
“Siapa”
“Mereka Berdua”
“bukankah aku sudah memberitahumu, tapi kau tak percaya”
Aku hanya menunduk terdiam, kucoba mengingat kabar burung yang beberapa hari lalu terdengar oleh ku, keyakinan dan cinta yang begitu besar ku berikan pada kekasih juga sahabatku buat aku tuli dengan kabar-kabar itu. Hari ini aku baru sadar akan semua tingkah tertutup mereka, telingaku terasa tajam mendengar “Hallo”, suara perempuan di HP Pria yang selama beberapa tahun ini jadi kekasihku, ya, suara ini sangat aku kenal. Semakin terhanyut dalam kekecewaan, siang tadi, ku lihat mereka berboncengan diatas motor JUPITER Merah, Romantis, terlihat perempuan itu dengan Dua tangannya membuat lingkaran penuh kedalam, takut terjatuh atau sebuah dramatisasi percintaan yang begitu romantic. Semakin aku mengingat, semakin hati ini meleleh atas pengkhianatan.
“Sudahlah, lepaskan mereka” tegur Ratih, mencoba menyapa
“air mata mu begitu suci untuk kau berikan buat mereka”
Sejenak ku terdiam, memikirkan nasehat Ratih,
“Betul, aku harus bangkit” ucapku penuh keyakinan
Aku harus kuat, akan ku tunjukan pada mereka bahwa aku kuat. Begitu mahal air mata ini untuk kutangisi mereka. Terasa sejuk saat ku bangkit dari tempat duduk, aku tersenyum pada Ratih. Dengan keras dan dngan seluruh daya yang ada dalam diriku aku berteriak
“Selamat Tinggal, Sahabat”
“Selamat Tinggal Kekasih”

“Selamat Tinggal Pengkhianat”

Oleh. Edy Susanto.