cerita yang kami sajikan ini, merupakan kisah nyata. untuk menjaga privasi, maka kami tidak memasukan nama asli dari pemilik kisah tersebut. semoga kisah ini, mampu memberikan inspirasi bagi anda semua.
Oleh: Edy SS
Pilihan adalah
sebuah jalan hidup, pilihan membutuhkan pengorbanan walaupun itu sulit untuk
dilakukan, itulah pilihan. pilihanku hari ini akan menentukan masa depanku
kedepannya, ayah-ibu maafkan aku, aku kecewakan kalian, ku buat engkau malu
atas pilihan ini, aku korbankan kalian atas pilihan ini.
Langit malam
seakan mati, gelap tak memiliki cahaya, setetes demi setetes air hujan jatuh
diatas sana, angin malam membuatku kedinginan masuk melewati jendela penantian.
Tanpa henti aku terus menengok keujung jalan berharap kau kunjung datang
menjemput.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar”
Suara adzan
terdengar dari kamar, apakah aku tuli? “Tidak”
hatiku bergetar ingin memenuhi panggilan Ilahi, aku takut akan ajab-Nya, Namun,
Kenapa suara panggilan itu tak aku hiraukan. Ku tengok lagi keujung jalan sana.
“mungkin sebentar lagi” kuberikan
keyakinan dalam hati.
“Aku Shalat Dulu”
Aku berjalan
untuk berTaharah, ku kenakan pakaian serba putih penutup Aurat saat menghadap sang
Pencipta, saat aku hendak mengambil sajadah didalam lemari, terdengar ada suara
pesan dari dalam saku celana yang ku kenakan tadi, seakan ada gempa yang
merobohkan bangunan yang kudiami ini, kuberlari mendekati sumber suara yang
membuat aku lupa akan kewajibanku sebagai Hamba dari sang Khalik
“kutunggu kau
sekarang diterminal”
Secepat kilat,
kulepaskan kain Putih yang menutupi jasad lemah ini, sekali meloncat aku mampu melewati jendela
kamar setinggi 1,5 Meter ini dengan beban berat yang tergenggan dikedua tangan
ini aku berlari menjauh dari rumah, jauh dari bunga-bunga yang selalu aku
manjakan dengan uraian tangan, menjauh dari pelukan dan kasih sayang dari mama
dan papa. Mama –papa maafkan aku.
Keringat
bercucuran membasahi baju merah kecoklatan , jantung berdetak tak menentu,
terminal dipenuhin oleh lampu-lampu Bis Malam, ratusan manusia terlihat sibuk
tak menentu arah dan tujuan. Ku berjalan, mencari seseorang pria tinggi dan
Putih serta Gagah dan tampan dan juga berpangkat Bripda ini.
“Dimana dia”
Ku berlari dan
terus mencari, tubuh ini rasanya tak sanggup lagi untuk mencari, napas seakan
putus ditenggorokan, aku duduk terdiam
sejenak, ku tengok jam yang ada ditangan“21.15 Wita” . keputus asaan mulai
membayangi pikiran,
“apakah dia tak datang, apakah dia bohong padaku?,
apakah dia ijinkan aku menikah dengan pilihan orang tua ku.. tidak…tidak
mungkin, dia pasti datang”\
Sejenak terdiam,
tiba-tiba mataku tersilau oleh cahaya lampu mobil yang datang menghampiriku,
cahaya itu tak mampu dilawan oleh mata kecil ini membuat aku TAK Kuasa melihat
siapa dibalik lampu itu, yang terdengar hanya suara pintu mobil yang tertutup, entah
siapa yang keluar, aku tak tahu.
“ayo pulang”
“Papa” aku
terkaget.
Digenggamnya
tanganku, tubuh lemahku tak mampu menahan tarikan kemarahan dari nya, aku
dipaksa masuk kedalam mobil Xenia hitam miliknya, tak ada yang dapat aku
perbuat selain menangis. didalam kamar terkunci dan jendelapun telah ditutup
mati, bukan bagaikan penjara, tapi memang inilah penjara, tak ada yang dapat
aku lakukan hanya diam, Terdiam dalam beban
pikiran, terdiam akan ketidakpercayaan atas ketidakhadirannya.
“Pembohong, kau pembohong” teriakku kencang.
Terdengar suara
langkah kaki menuju arahku, aku tak perduli siapa yang datang mama, papa
malaikat pencaput nyawa pun aku tak perduli.
“Lupakan dia, kau akan menikah besok dengan
laki-laki pilihan papa ”
aku tak berdaya,
aku tak perduli akan hidup atau mati, aku dibunuh atau dinikahkan aku tak
perduli akan semua itu, sekarang aku sudah mati, aku telah dibunuh oleh
keyakinanku pada laki-laki pembohong itu, aku terlena akan ucapan-ucapan
manisnya, aku terhipnotis oleh janji-janji manisnya dan aku adalah boneka,
mungkin itu yang aku rasakan atas sikap kedua orang tuaku.
ketika dunia
begitu cerah, cerah oleh cahaya sang matahari, kecerahan pun terdengar oleh
suara canda tawa kebahagiaan diluar sana. Beberapa orang sibuk mencari dan memilih
pakaian untukku, beberapa orang lainnyan sibuk menghias wajah kusut dan
muramku.
Aku berjalan
menuju singgasana pernikahan sekaligus singgasana masa depan mama dan papa,
karena ini adalah keinginan mereka, aku hanya menunduk dan terdiam hatiku tak
ada disini, akupun tak tahu hatiku ada dimana.
“apakah ananda siap untuk dinikahkan”aku tak menyahut
“apakah ananda siap untuk dinikahkan” aku
tak menyahut dan tak perduli
“apakah
ananda siap untuk dinikahkan” ulang Penghulu padaku
“terimalah dia jadi suamimu”
terdengar suara
yang tak asing lagi bagiku, suara itu terdengar begitu jelas dibelakangku, aku
mendengar, aku tak percaya, suara laki-laki yang telah menjadi kekasihku 4
tahun silam, laki-laki yang telah berjanji akan membawaku jauh, jauh diluar sana,
laki-laki yang berjanji menungguku diterminal. Ku tak percaya ini dia, ku
kuatkan hati untuk membalikkan wajah, kulihat wajah kesedihan terpampang
diwajahnya, tetesan air keluar dari matanya, bersinar cahaya kepolosan dan
kesucian terlihat begitu jelas dari raut wajahnya, hanya sepintas kumelihatnya
aku pun jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Sendiri hidup dalam kegelapan.