Sabtu, 21 Juni 2014

TERMINAL “TAQDIR”

cerita yang kami sajikan ini, merupakan kisah nyata. untuk menjaga privasi, maka kami tidak memasukan nama asli dari pemilik kisah tersebut. semoga kisah ini, mampu memberikan inspirasi bagi anda semua.


Oleh: Edy SS

Pilihan adalah sebuah jalan hidup, pilihan membutuhkan pengorbanan walaupun itu sulit untuk dilakukan, itulah pilihan. pilihanku hari ini akan menentukan masa depanku kedepannya, ayah-ibu maafkan aku, aku kecewakan kalian, ku buat engkau malu atas pilihan ini, aku korbankan kalian atas pilihan ini.
Langit malam seakan mati, gelap tak memiliki cahaya, setetes demi setetes air hujan jatuh diatas sana, angin malam membuatku kedinginan masuk melewati jendela penantian. Tanpa henti aku terus menengok keujung jalan berharap kau kunjung datang menjemput.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar”
Suara adzan terdengar dari kamar, apakah aku tuli? “Tidak” hatiku bergetar ingin memenuhi panggilan Ilahi, aku takut akan ajab-Nya, Namun, Kenapa suara panggilan itu tak aku hiraukan. Ku tengok lagi keujung jalan sana. “mungkin sebentar lagi” kuberikan keyakinan dalam hati.
“Aku Shalat Dulu”
Aku berjalan untuk berTaharah, ku kenakan pakaian serba putih penutup Aurat saat menghadap sang Pencipta, saat aku hendak mengambil sajadah didalam lemari, terdengar ada suara pesan dari dalam saku celana yang ku kenakan tadi, seakan ada gempa yang merobohkan bangunan yang kudiami ini, kuberlari mendekati sumber suara yang membuat aku lupa akan kewajibanku sebagai Hamba dari sang Khalik
“kutunggu kau sekarang diterminal”
Secepat kilat, kulepaskan kain Putih yang menutupi jasad lemah ini,  sekali meloncat aku mampu melewati jendela kamar setinggi 1,5 Meter ini dengan beban berat yang tergenggan dikedua tangan ini aku berlari menjauh dari rumah, jauh dari bunga-bunga yang selalu aku manjakan dengan uraian tangan, menjauh dari pelukan dan kasih sayang dari mama dan papa. Mama –papa maafkan aku.
Keringat bercucuran membasahi baju merah kecoklatan , jantung berdetak tak menentu, terminal dipenuhin oleh lampu-lampu Bis Malam, ratusan manusia terlihat sibuk tak menentu arah dan tujuan. Ku berjalan, mencari seseorang pria tinggi dan Putih serta Gagah dan tampan dan juga berpangkat Bripda ini.
“Dimana dia”
Ku berlari dan terus mencari, tubuh ini rasanya tak sanggup lagi untuk mencari, napas seakan putus  ditenggorokan, aku duduk terdiam sejenak, ku tengok jam yang ada ditangan“21.15 Wita” . keputus asaan mulai membayangi pikiran,
“apakah dia tak datang, apakah dia bohong padaku?, apakah dia ijinkan aku menikah dengan pilihan orang tua ku.. tidak…tidak mungkin, dia pasti datang”\
Sejenak terdiam, tiba-tiba mataku tersilau oleh cahaya lampu mobil yang datang menghampiriku, cahaya itu tak mampu dilawan oleh mata kecil ini membuat aku TAK Kuasa melihat siapa dibalik lampu itu, yang terdengar hanya suara pintu mobil yang tertutup, entah siapa yang keluar, aku tak tahu.
“ayo pulang”
“Papa” aku terkaget.
Digenggamnya tanganku, tubuh lemahku tak mampu menahan tarikan kemarahan dari nya, aku dipaksa masuk kedalam mobil Xenia hitam miliknya, tak ada yang dapat aku perbuat selain menangis. didalam kamar terkunci dan jendelapun telah ditutup mati, bukan bagaikan penjara, tapi memang inilah penjara, tak ada yang dapat aku lakukan hanya diam, Terdiam dalam beban  pikiran, terdiam akan ketidakpercayaan atas ketidakhadirannya.
“Pembohong, kau pembohong” teriakku kencang.
Terdengar suara langkah kaki menuju arahku, aku tak perduli siapa yang datang mama, papa malaikat pencaput nyawa pun aku tak perduli.
“Lupakan dia, kau akan menikah besok dengan laki-laki pilihan papa ”
aku tak berdaya, aku tak perduli akan hidup atau mati, aku dibunuh atau dinikahkan aku tak perduli akan semua itu, sekarang aku sudah mati, aku telah dibunuh oleh keyakinanku pada laki-laki pembohong itu, aku terlena akan ucapan-ucapan manisnya, aku terhipnotis oleh janji-janji manisnya dan aku adalah boneka, mungkin itu yang aku rasakan atas sikap kedua orang tuaku.
ketika dunia begitu cerah, cerah oleh cahaya sang matahari, kecerahan pun terdengar oleh suara canda tawa kebahagiaan diluar sana. Beberapa orang sibuk mencari dan memilih pakaian untukku, beberapa orang lainnyan sibuk menghias wajah kusut dan muramku.
Aku berjalan menuju singgasana pernikahan sekaligus singgasana masa depan mama dan papa, karena ini adalah keinginan mereka, aku hanya menunduk dan terdiam hatiku tak ada disini, akupun tak tahu hatiku ada dimana.
“apakah ananda siap untuk dinikahkan”aku tak menyahut
apakah ananda siap untuk dinikahkan” aku tak menyahut dan tak perduli
 “apakah ananda siap untuk dinikahkan” ulang Penghulu padaku
“terimalah dia jadi suamimu”

terdengar suara yang tak asing lagi bagiku, suara itu terdengar begitu jelas dibelakangku, aku mendengar, aku tak percaya, suara laki-laki yang telah menjadi kekasihku 4 tahun silam, laki-laki yang telah berjanji akan membawaku jauh, jauh diluar sana, laki-laki yang berjanji menungguku diterminal. Ku tak percaya ini dia, ku kuatkan hati untuk membalikkan wajah, kulihat wajah kesedihan terpampang diwajahnya, tetesan air keluar dari matanya, bersinar cahaya kepolosan dan kesucian terlihat begitu jelas dari raut wajahnya, hanya sepintas kumelihatnya aku pun jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Sendiri hidup dalam kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar