Senin, 23 Juni 2014

cerpen: Penantian Tak Berujung

Penantian Tak Berujung
Oleh : Edy SS.
Begitu hening saat malam datang, yang terdengar hanya suara jangkrik di tengah ladang dan teriakan segerumunan kodok yang berusaha meminta tetesan air dari langit yang mendung. Di tengah ladang ada sebuah rumah singgah, dindingnya dianyam dari anyaman bamboo dan berlantaikan dari pilah-pilah bambu pula. Itulah rumah sederhana yang menjadi payung dalam kesendirianku beberapa bulan terakhir ini.
Kesunyian selalu mendatangiku saat matahari dengan cepatnya berada beberapa derajat dari arah kiblat, ya, hanya pada malam hari aku merasakannya. Saat matahari dengan sengatnya memberikan cahaya bagi dunia. Saat itu, serau mungilku tak dapat menaungi adik-adikku yang datang menghilangkan kesunyianku saat gelap.
Teriakan,  canda tawa serta tangisan yang menjadi sebuah kebisikan yang tak terelakkan, kadang percekcokan di antara penghuni surau di siang harinya memberikan kehangatan dan kebahagian tersendiri bagiku. Kebersamaan itu, membuatku ingin sekali mengambil tali dan mengikat sang surya di salah satu pohon pisang di samping surauku. Terkadang aku berkata, “ kenapa sang surya ini begitu cepat dan sekejap saja memberikan kesempatan untuk adik-adikku untuk menemani kesendirianku, apakah sang surya dengki, atau iri karena aku selalu ditemani oleh srikandi-srikandi cantik serta arjuna-arjuna gagah perkasa ini.”
Siang hari aku menyombongkan diri dan membanggakan diriku pada sang surya, namun ketika malam menjemput aku merasakan seperti apa yang dirasakan oleh matahari dengan kesendiriannya dan jika malam datang, bulan seakan-akan menyombongkan dirinya padaku dan seakan-akan berkata “kenapa kau menatapku dengan tatapan sinis seperti itu? Apakah kamu iri padaku?, karena aku memiliki milyaran sahabat yang akan selalu ada mengelilingiku,,, dimana Adik-adik mu?, dimana kesombonganmu? serta keangkuhanmu pada sang matahari?!”.
Perkataan itu, selalu terulang dan terus berulang tiap kali aku menghadapkan wajahku kebulan, mungkin, ini adalah hukum karma atas perbuatanku pada sang matahari. Aku terdiam tak bersua, yang kulakukan hanya menatap beribu-ribu bintang tak alami, yang dapat kulihat dari atas surau setinggi empat meter ini. Disinilah aku menunggu sang matahari yang merupakan penyinar dan pengahangat dunia dan kehidupan. Ditempat ini pula ku tunggu dengan penuh harapan akan kedatangan adik-adikku, penyinar sekaligus penghangat dunia dalam hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar